Keluaran baru dari MOCIN
Motor China kembali "mengganggu" pasar kendaraan roda dua Indonesia. Kali ini mereka tampil dengan senjata berisi dua peluru sakti, yakni harga yang murah dan model yang beragam, mulai dari jenis sport sampai untuk keperluan bisnis, beroda tiga, lagi.
Pemilik senjata itu adalah perusahaan Minerva-Sachs, sepeda motor kombinasi buatan lokal (Minerva) dengan pabrikan Jerman (Sachs). Mereka menampilkan Maddass, yakni bebek tanpa baju plastik yang mempertontonkan otot kekarnya. Satu-satu, Xroad berperawakan sport supermoto.
Viar memasukkan jenis sport bernama Karya yang sudah dipoles. Bentuknya seperti Honda CBR 150 yang tidak dimasukkan oleh ATPM-nya, PT Astra Honda Motor. Tipe ini banyak ditiru produsen non-Jepang sebab pasarnya terbuka. ”Untuk tipe bebek, kami produksi mirip CS-1, sedangkan jenis sportnya, Viar punya yang tiga roda namanya Karya,” jelas Akhmad Z Dalie, Kepala Divisi Marketing PT Triangle Motorindo, yang sebelum ini sudah jual bebek besi mirip motor Jepang.
Motor sebagai unit usaha sudah banyak disadari. Celah inilah yang kemudian ingin dipertajam produsen motor China (Mona) seperti Kaisar, Nasha, dan Viar yang menghadirkan kendaraan roda tiga, meski masih dalam bentuk standar.
Sekalipun kondisi standar oleh Dedy Ganda Sakti dari DSP Styling di Bogor dinilai sebagai peluang bisnis. Pengusaha fiber untuk bodi kit mobil sejak 1982 ini sangat berpengalaman dalam dunia serat kaca. ”Kita membuat motor toko (moko) dengan menggunakan mona tiga roda,” jelas Dedy yang kini banyak memproduksi menggunakan motor Meteor dan Nasha.
Desainnya multifungsi, sesuai pesanan. Misalnya, urai Dedy, untuk dagang buah, voucer HP, dan laundry. Dipilihnya Meteor dan Nasha karena keduanya memiliki banyak keunggulan. ”Harganya Rp 15 juta dengan kapasitas mesin 150 cc, bisa mundur. Sepertinya sudah pas untuk modal dagang,” papar Dedy yang untuk setiap pembuatan boks dihargai sekitar Rp 10 juta.
Merugi
Kenapa strategi agresi kedua pemain mocin agak beda dengan yang sebelumnya? Belajar dari pengalaman pertama pada tahun 2000, kala itu cukup banyak mocin menyerbu pasar Indonesia dengan bendera merek Loncin, Mahator, Jialing, Sanex, Nasha, Viar, dan Happy.
Dari semua merek di atas, modelnya yang diproduksi umumnya sudah dibuat oleh Jepang. Dan penguntitan itu ada alasannya. ”Dulu strateginya jalur singkat. Seperti Supra, Jupiter dan Shogun sudah diterima pasar,” komentar Krisdianto Goenadi, pemain merek non-Jepang dengan produk dagangnya Loncin.
Sementara Dalie menjual bebek non-Jepang untuk mengambil benefit aftersalesnya. “Dulu, dengan kemiripan bentuk dan spare-parts, konsumen motor non-Jepang bisa manfaatin jaringan motor Jepang. Kan, hampir semua bengkel pinggir jalan pun tau servisnya,” jelas Dalie.
Kenyataannya, taktik itu justru merugikan. Selain kualitasnya di bawah produk Jepang, pihak prinsipal dari negeri Matahari terbit melarang jaringannya menerima servis di luar produk mereka.
“Tak cuma itu. Dengan varian mirip, sebagus apapun barang kita, tetap dicap penjiplak dan mutu jelek. Dan, secara ekonomis tak punya masa depan. Tidak bisa ngembangin merek sendiri,” urai Kris yang kini presiden direktur Minerva-Sachs, gabungan merek lokal Minerva dengan pabrikan Jerman, Sachs.
Makanya, Minerva dan Triangle hadir kembali dengan konsep yang lai
-- Tidak ada komentar --
Posting Komentar